(dimana aku dapat menangkap udara?)
Saatku tapaki jalan-jalan itu. Disore hari, saat langit sedikit mendung sehingga matahari terlihat tak tampak untuk berpamitan dilangit sore.
Aku ulangi lagi berjalan dijalan-jalan itu dipagi hari. Hari inipun tak tampak senyuman mentari menyambut dunia.
Lihatlah? Si hijau berderet disetiap petakan-petakan. Menunduk-menunduk. Si hijau menunduk, si hijau si padi yang sedang berisi. Kata orang kita harus seperti padi.
Kenapa begitu?
Entahlah, itulah yang selalu kudengar dari para tetuaku. Kakek, paman, ustad dan guruku. Dulu dimasa kecilku sering bertanya-tanya, “kenapa begitu? Kok bisa?”
Semakin berisi semakin menunduk. Begitulah manusia seharusnya. Semakin berilmu semakin rendah hati bukannya menyombongkan diri.
Masih kuteruskan langkah kakiku. Rasakan angin membelai lembut seluruh tubuhku. Merasakan sensasi dingin di pori-poriku. Dingin namun segar dan sejuk.
Berulang kali kucoba meraihnya sang udara yang tak kunjung pergi dari sisiku. Ku coba rentangkan kedua tanganku mencoba memeluk udara yang tak kunjung habis aku hirup melalui kedua lubang hidungku ini.
Terasa namun tak terlihat. Dimana kau udara?
Kenapa aku begitu aneh mencari-cari udara?
Aku memang aneh, selalu aneh? Nggak jelas? Geje? Alay malahan?
Ah, masa bodoh dengan istilah itu.
Kenapa kita tak kaitkan udara dengan Keaguan sang Maha Kuasa. Bukankah sang Kuasa yang menciptakan udara. Bukankah jika dipikir begitulah kita harus percaya akan keberadaan yang Maha Kuasa. Seperti angin tak terlihat tapi selalu terasa jadi kita percaya dengan adanya angin disekitar kita. Begitu pula sang pencipta angin tak dapat kita lihat tapi selalu terasa Keagungan dan Kekuasaannya.
*Greenmoon mencatat sesuatu yang aneh, kenapa aku jadi alim ==a, sudahlah catatan greenmoon kan memang selalu aneh